Proyek Maut


Judul Buku: Proyek Maut
Penulis: Eddie Sindunata
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 11 Mei 2015
Tebal: 344 Halaman
Genre: Crime Thriller
Rating: 2 of 5

Buku ini menceritakan, ah, kalimat pembuka seperti itu tentunya sangat mainstream. Jadi saya memutuskan untuk mencari kalimat pembuka lain. Misalnya begini… Betul Indonesia gersang dengan bacaan-bacaan. bergenre thriller (oke, ini kayaknya kalimat yang cool). Namun nampaknya Proyek Maut (PM) belum cukup dapat menghapus kegersangan itu. Saya berpendapat demikian karena saya merasakan kelelahan dan kejengkelan yang mendalam saat membaca buku ini. Terlepas dari yang saya pahami, menulis sebuah buku memang tak mudah.

Hal utama yang disorot adalah adanya permainan kotor para konglomerat-konglomerat di negeri ini berkolaborasi dengan pejabat dan pihak kepolisian. Proyek Mega Subway yang merupakan proyek rahasia akhirnya mulai diketahui Hardi, seorang komisaris polisi, sejak terjadinya kasus pembunuhan seorang konglomerat. Selama menyelidiki kasus pembunuhan tersebut, kasus-kasus kotor lain mulai terbongkar. Sudah, itu saja sinopsisnya. Saya lebih tertarik membahas cara penulis bercerita ketimbang bahas jalan ceritanya (bahkan saya tidak terlalu peduli dengan endingnya).

Pertama, sejak awal membaca buku ini, saya gatal dengan penggunaan bahasa yang begitu kaku. Bahkan seorang tukang bakso dan tukang warteg pun dibikin dialog dengan bahasa yang kaku. Okelah, mungkin penulis bermaksud menghasilkan suatu karya yang baku sesuai kaidah EYD dan sebagainya tapi saya sebagai pembaca jadi merasa seperti robot. Tak nyaman dan natural rasanya. Kayak naik ojek mendaki Gunung Pangrango. Gajruk-gajruk gitu. Ya, saya gak pernah naik ojek ke gunung juga sih.

Kedua, karakterisasi tokoh-tokoh di dalamnya. Saya tak mau bahas soal teknis menciptakan karakter atau apa, hanya saja pandangan saya sebagai pembaca awam, tokoh-tokoh dalam buku ini tidak membekas dengan baik di ingatan saya. Sejatinya (ya, ini mengadopsi kata-kata yang suka diucapkan Feni Rose) saya tak peduli apakah nama tokoh itu begitu populer seperti Bianca, Reinald, Alexandra, atau Voldemort. Jadi sah-sah saja kalau penulis ingin menamai tokoh-tokohnya dengan nama yang “endonesa biyanget” seperti Hardi, Santi, Eko, dsb tapi please buatlah karakter yang kuat bagi setiap tokoh sehingga pembaca bisa dengan mudah memvisualisasikannya dalam imaji mereka. Sampai akhir cerita, saya tak tahu apakah Hardi ini gendut kayak pak polisi yang suka di lampu merah itu atau gagah kayak robocop. Saya juga tak tahu apakah Santi ini bentuk badannya kutilang atau kayak Kim Kardashian.

Ketiga, membaca dialog dalam buku ini seperti melihat pertandingan bulutangkis. Hanya ada tektok dan tanya jawab ibarat saya lagi isi kuesioner psikologi. “Apakah Anda merokok?” Tidak. “Apakah Anda punya pacar?” Kepo ih. “Apakah pacar Anda manusia?” Vampir! Yah, sebagai pembaca saya tentu mengharapkan percakapan yang mengalir dan terkesan alami. Jadi agak gak bersemangat melanjutkan membacanya karena penulisan dialog yang begitu kaku.

Keempat, saya kayaknya tidak satu frekuensi dengan penulis soal logika. Menurut saya, seorang atasan polisi agak aneh kalau harus ber-aku kamu dengan bawahannya. Lalu juga saat adegan polisi menyamar dan mendatangi sebuah warteg, padahal kan sudah dibilang “saya polisi” lah kok masih saja dipanggil “Mas” sama tukang warteg. Entah ya, mungkin hasil observasi penulis demikian adanya tapi kalau saya sih otomatis akan memanggil polisi manapun dengan sebutan “Pak”. Bukan Mas Polisi. Ya kecuali suami saya nanti seorang polisi. Etapi saya gak mau punya suami seorang polisi. Iya, ok, gak curhat lagi deh habis ini.

Kelima, cover bukunya relatif mirip dengan cover buku thriller punya penerbit sebelah. Yah, 5 aja deh. Karena Allah kan suka yang ganjil-ganjil dan balonku ada 5 tapi hatiku cuma ada 1. Monggo dibaca sendiri supaya bisa menilai juga. Juga 2 bintang untuk ide dan usahanya menulis buku bergenre thriller.

Semoga genre ini makin berkembang di Indonesia ya. Kalau pembaca lain setelah membaca buku ini mungkin akan berhadapan dengan pertanyaan “Kira-kira betulan sekotor ini atau enggak ya?”, saya justru sejak awal memilih untuk tak peduli. Konspirasi di dunia ini terlalu banyak dan rumit dan saya tak ingin sepanjang hidup saya habiskan buat bernegative thinking dan menerka-nerka sekalipun memang. ada beberapa bukti.