Simple Miracles: Doa dan Arwah

Simple Miracles: Doa dan Arwah Penulis: Ayu Utami Penerbit KPG Tahun Terbit: 2014 Tebal: 177 Halaman Genre: Non Fiksi

Simple Miracles: Doa dan Arwah
Penulis: Ayu Utami
Penerbit KPG
Tahun Terbit: 2014
Tebal: 177 Halaman, Rating: 4 of 5
Genre: Non Fiksi

 

It can be miracle, when you believe, begitu nyanyian seorang Mariah Carey. Ya, buku yang saya baca ini mengambil isu yang cukup serius, yaitu keyakinan. Keyakinan siapa? Tentu saja keyakinan sang penulis, yaitu Ayu Utami, dalam memandang sesuatu yang spiritual seperti Tuhan dan hantu. Dua hal yang saya sebutkan itu tak ada bedanya satu sama lain. Sama-sama tidak bisa dilihat, sama-sama tak “terjamah”, namun kita bisa merasakan kehadirannya (tentu saja ini hanya berlaku bagi mereka yang percaya!).

Simple Miracles terdiri dari tiga bab besar yaitu hantu, tuhan, tahun. Apa yang dirasakan penulis tentunya juga saya rasakan. Terutama tentang bagaimana sikap kita memandang sesuatu yang (katanya) hanya bisa dilihat oleh indra keenam. Persis! Saya sama halnya seperti penulis, awal-awal berada pada fase skeptis sampai waktu pada akhirnya mengajak saya untuk menelaahnya lebih dalam sebab waktu pula lah yang memberikan saya kejadian-kejadian yang sejujurnya tidak bisa dinalar dengan akal sehat. Tapi kemudian ketika kejadian “spiritual” tersebut terjadi pada kita (atau kita melihatnya dengan mata kepala kita sendiri), mau tak mau suka tak suka kita jadi mengimani apa yang kita alami itu. Tentu saja setelah sebelumnya saya berusaha menepis dengan segala logika-logika yang saya pahami. Pada akhirnya, logika itu patah, karena satu dan lain hal yang tidak bisa kita terima dengan nalar. Itulah yang saya asumsikan sebagai keajaiban.

Kadang sesuatu hadir begitu sederhana, sehingga kita enggan mengakuinya.

Banyak pemikiran-pemikiran bagus yang Ayu Utami tulis dalam buku ini (well, sebenarnya agak rancu menyebutnya “pemikiran bagus” atau hanya karena saya sepemikiran dengannya). Pemikiran-pemikiran ini tidak menggurui. Ayu Utami sekadar berbagi cerita hidupnya yang menurut saya menarik sekali untuk diketahui, tanpa ada kalimat merendahkan siapapun. Kentara sekali dalam buku ini, meskipun Ayu Utami terlihat cuek, namun sebenarnya ialah sosok perempuan yang perasa dan sayang keluarga. Bedanya, mungkin, Ayu menjalani hidup tanpa menye-menye. Jika diibaratkan dengan berjalan, Ayu menjalani hidup dengan derap kaki seorang prajurit; tegap, kokoh, langkah pasti. Tidak seperti seorang perempuan yang jalannya ngesot (eh, ini mah suster yak).

Kita sering bertanya kenapa sih si itu mati begitu cepat, atau kenapa si ini tidak mati-mati padahal sakitnya sudah menahun, misalnya. Buku ini memberikan jawaban yang sebenarnya sudah saya yakini sejak lama; seseorang belum dipanggil Tuhan kalau tugasnya di bumi belum selesai. Yah, bukankah kita semua ini adalah khalifah di bumi yang mengemban tugas masing-masing? Kenapa juga orang baik biasanya dipanggil begitu cepat? Sebab Tuhan menyayanginya lebih dari kita menyayangi mereka. Bukankah Tuhan Maha Tahu?

Imanmu menyelamatkanmu. Tapi iman juga bisa mencelakakanmu. – hal. 97

Maafkan kalau review saya terkesan agak bias karena memang saya salah seorang penyuka tulisan dan pemikiran Ayu Utami. Tapi saya yakin apa yang ditulis Ayu Utami dalam buku ini bisa memberikan pembaca pandangan baru terhadap sesuatu yang “halus-halus”. Agaknya menarik jika punya sahabat seperti Ayu Utami, yang meskipun terlihat sibuk dengan ceritanya sendiri tapi pendengarnya bakalan betah meladeninya sebab diceritakan dengan bahasa dan tutur kata yang ekspresif sekaligus halus. Saya suka sekali dengan sikap penulis sewaktu bertemu dengan “paranormal-paranormal”. Cara nyinyir khas Ayu Utami bikin saya ngakak sekaligus menggumam “gue banget nih!”. Maksudnya, kalau saya jadi Ayu Utami, mungkin saya juga akan bereaksi demikian. Terasa orisinil!

Di satu sisi, tulisan Ayu yang diawali dengan kalimat “Hal yang paling menakutkan adalah Ibu mati.” langsung membuat saya merinding. Sebab ibu saya juga sedang sakit dan sekarang sedang menjalani terapi hemodialisis. Mau tidak mau, setiap kali Penulis menceritakan tentang ibunya, saya jadi ikut terbawa haru.

Tuhan, perkenankanlah aku menemani ibuku saat ia menyambut ajal… – hal. 123

Di belakang buku, Penulis menyisipkan cerita yang menarik perihal latar belakang penulisan buku ini. Bahwa ia sebenarnya menulis untuk memperingati 40 hari meninggalnya sang ibu, namun kemudian tidak bisa selesai tepat waktu. Lalu sang bibi (disebut Bibi Gemuk) wafat dalam penulisan sehingga akhirnya buku ini dipersembahkan untuk kedua wanita itu. So sweet… Kelak kita tahu siapa Nata dan Ghavi yang tertulis di halaman awal buku.

Kendati buku ini beraliran nonfiksi, tentunya ada beberapa penyesuaian di sana sini sehingga nikmat dibaca. Hal ini disampaikan Penulis di akhir halaman juga.

Nampaknya buku ini akan dibuat menjadi serial. Wah, untuk yang satu ini saya tidak ingin berharap terlalu banyak sebab Ayu Utami nampaknya punya beberapa tulisan yang belum naik cetak sejak setahun lalu (Seri Zodiak, misalnya).

Sedikit tip dari saya, bacalah buku ini dengan pikiran terbuka dan biarkan setiap kalimatnya dicerna otak sehingga tidak tertelan mentah-mentah. Bagaimanapun, hal-hal yang spiritual tetap harus dikritisi.

Spiritualisme Kritis adalah sikap terbuka (penghargaan) pada yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis. – Ayu Utami

 

PS: buku ini salah satu buku hadiah dari Santa. Terima kasih, ya. *smooch*

 

Menyelami Getirnya Hidup Seorang Agnes Magnusdottir

Burial Rites (Ritus-ritus Pemakaman) by Hannah Kent Penerjemah Tanti Lesmana Penerbit Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit 2014 Tebal 416 Halaman Rating 4 of 5

Saya selalu kesal dengan buku yang menceritakan kisah orang-orang yang bodoh karena cinta. Ya, buku ini contohnya. Karena cinta, ia jadi buta dan sekarang harus tersiksa bahkan sampai harus mati. Yah, saya bisa saja bilang begini. Tapi saya tahu tidak ada yang bisa menolak kekuatan cinta. Jadi saya sedikit banyak mengerti bagaimana dilema yang dialami oleh Agnes Magnusdottir, perempuan paruh baya yang sedang menanti ajalnya, yaitu hukuman mati (penggal kepala)  atas tuduhan membunuh Natan Ketilsson, majikannya.

Kata mereka, aku harus mati. Kata mereka, aku mencuri nyawa orang jadi sekarang mereka harus mencuri nyawaku. – Prolog

Sepanjang cerita kita akan disuguhkan dengan cerita masa lalu Agnes dan alasan-alasan mengenai tuduhannya. Benarkah Agnes membunuh Natan? Kalau ya, apa alasannya? Saya rasa hal ini yang mengikat pembaca.

Awal kisah dibuka dengan surat perintah untuk Jon, seorang aparat daerah, yang diminta menampung Agnes, seorang tahanan yang akan dihukum pancung sebentar lagi. Tidak ada penjara yang menampungnya sehingga Agnes diputuskan untuk tinggal sementara bersama keluarga Jon. Mendengar kabar itu, keluarga Jon (Margret – sang istri, dua anak perempuannya Steina dan Lauga) tentu saja kaget bukan main. Tak pernah terbayang dalam benak mereka akan tinggal satu atap dengan seorang pembunuh yang mungkin saja saat malam merambat datang, salah satu dari mereka bisa ikut terbunuh juga. Wew!

Tapi berhubung itu perintah pemerintah pusat, Jon tidak bisa berbuat apa-apa. Sekalipun telah dikirimkan petugas keamanan untuk berjaga-jaga di sekitar rumah, tetap saja Margret khawatir. Apalagi Jon sering dinas keluar kota.

Di rumah Margret, Agnes diperlakukan seperti pembantu. Yah, Agnes memang dasarnya pembantu jadi sambil menunggu kapan waktunya ia mati, tak ada salahnya ia ikut membantu pekerjaan rumah. Margret memperlakukannya dengan baik dan sewajarnya.

Selama penantian hukuman mati buat Agnes, keluarga Margret lama-lama tersentuh dan menyadari bahwa Agnes tidak sejahat yang mereka kira. Agnes sama sekali tidak jahat. Mungkin pandangannya dingin dan tajam. Mungkin sikapnya aneh atau apalah. Tapi itu semata-mata karena ia menyimpan beban hidup yang tidak mudah dan tak pernah ia bagi kepada siapapun. Bahkan, Agnes sangat membantu kehidupan mereka.

Rupanya sejak dulu sudah kelihatan bagaimana pedasnya mulut tetangga-tetangga yang suka mencampuri urusan orang lain. Tergambar dari sikap Rosalin yang berbicara hal tidak benar tentang kehidupan Agnes.

Cerita ini berlatar belakang daerah Islandia, yang mana seingat saya, ini buku pertama tentang Islandia yang saya baca. Ya, saya akhirnya jalan-jalan ke Islandia. Kaya betul kan saya? Dengan setting tahun 1800-an, saya kira penulis cukup mampu membuat saya mengimajinasikan bagaimana kondisi Islandia kala itu. Dengan rinci dijelaskan bagaimana kontur alamnya, bentuk rumahnya, pakaiannya, keadaan ladang-ladangnya, cuacanya, pemerintahannya, dan sebagainya. Bagus sekali.

Selain menjelaskan hal-hal teknis seputar Islandia, antara lain deskripsi kota Kornsa, Illugastadir, dan Hvammur, saya akui Hannah Kent sangat piawai memerinci bagaimana perasaan Agnes sehingga secara tidak sadar saya sudah sangat merasa kasihan dengan Agnes. Saya seperti merasakan penderitaan yang Agnes alami. Sangat sedih dan muram. Mengingatkan saya dengan Tsukuru Tazaki-nya Haruki Murakami. Suram sekali hidupnya. Tapi di satu sisi saya juga gemas kenapa Agnes tidak mencoba menjelaskan di pengadilan bahwa tuduhan itu tidak benar. Agnes malah lebih suka cerita ke Pendeta Toti, padahal pendeta itu tugasnya untuk mempersiapkan rohani Agnes dalam rangka menghadap Tuhan.

Pendeta, apakah menurutmu aku berada di sini karena waktu masih kecil aku pernah bilang aku ingin mati? Sebab, dulu waktu mengatakannya aku bersungguh-sungguh. Aku mengucapkannya seperti mengucap doa. Kuharap aku mati saja. Apakah aku sendiri yang telah menentukan nasibku, waktu itu? – hal. 186

Dari sini kita juga tahu bahwa Agnes bukannya tidak percaya Tuhan. Ia hanya skeptis dengan orang-orang yang mengaku dirinya suci dan beragama namun sama sekali tidak menunjukkan perilaku yang manusiawi. Sebenarnya apa agama itu, dibahas tanpa menyudutkan pihak mana pun. Saya suka sekali.

Banyak quotes bagus yang bikin kepala saya jadi angguk-angguk tanda setuju dan sangat menancap di hati. Agaknya buku ini kurng tepat dimasukkan ke genre romance seperti yang tertera di sampul belakang buku. Sebab lebih ke historical romance sih. Bukan romance yang biasanya menye-menye itu.

Lalu, ada dua sudut pandang yang digunakan yaitu sudut pandang narator dan dari Agnes sendiri. Dari buku ini saya juga jadi tahu bahwa jika anak perempuan, nama belakangnya akan ditambahkan -dottir, misalnya Agnes Magnusdottir, artinya Agnes si anak Magnus. Begitu juga dengan laki-laki akan ditambahkan -sson, misalnya Thorvardur Jonsson, artinya Thorvardur si anak Jon. Informasi-informasi seperti ini yang saya suka. Selain itu juga penggunaan huruf di Islandia sedikit tidak umum. Tak bisa saya tulis di sini sebab keyboard saya tak capable. Semua penjelasannya terdapat di halaman awal. Ada juga peta Islandia sebagai gambaran letak daerah. Di halaman belakang kelak pembaca bisa tahu bahwa cerita ini adalah cerita fiksi yang disarikan dari kisah nyata seorang Agnes Magnusdottir sebagai orang terakhir yang dihukum pancung di Islandia. Salut sekali dengan riset yang dilakukan penulis! Alurnya campuran antara maju dan mundur, cukup cepat di awal sehingga saya gak mengantuk namun agak membosankan menjelang akhir.

Penulis menceritakan hal-hal yang tidak bisa saya dapatkan dengan mudah dan itu seperti memberikan nafas segar buat saya saat membacanya.

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin saya tuliskan tentang buku ini. Misalnya tentang pelecehan seksual yang dilakukan seorang majikan terhadap pembantunya, kecemburuan karena cinta, dan pembalasan dendam akibat kemarahan yang meluap. Selain itu kita juga akan mengetahui penerimaan Agnes tentang cibiran orang-orang di sekitarnya dan betapa ia menerima itu semua tanpa perlawanan bukan karena ia tak mampu melainkan karena ia berpikir opini mereka tidak penting. Tapi rasanya akan jadi sangat panjang kalau saya ceritakan semuanya. Hahahaha, so lebih baik baca sendiri ya bukunya.

***

SECRET SANTA

Dear, my Santa.

Actually, I haven’t discovered yet who are you based on your riddle. But I got the information about the circle. You must be know about it, right.

It’s not easy for me at all. Your riddle were lead me to nothing. I had no idea about it. Please don’t get me wrong, I have tried my best to resolve but it ends up with failure.

Capek ah ngomong bahasa Inggris. Puhahaha!

Yah, intinya saya gak bisa nebak siapa santa saya. Susah amat sih abisnya hahahaha… cluenya sedikit amat, sih, Santa. Hiks…

Awalnya saya tebak Mbak Ika Kartika. Tapi kayaknya bukan. Iya, saya nyerah nih, Santa. Please, tell me now who you are.

Anyway thanks for the books. I really like it.

Cheers,

Selvi

***

PS Miss PHP bukan sih santa saya? *oops

Sepuluh Anak Negro

Judul Asli: And There Were None Judul Terjemahan: Sepuluh Anak Negro Penulis: Agatha Christie Tahun Terbit: 2004 Tebal: 264 Halaman Genre: Misteri, Teka-teki Rating: 5 of 5

Review pertama di tahun 2015. Yeay! -btw, udah kayak ABG kekinian belom? :p-

Buku ini sudah cukup lama saya dengar gaungnya -halah, gaung opo- di dunia flora dan fauna, eh maksudnya dunia perbukuan. Sejak kuliah seorang teman pernah merekomendasikan ke saya, tapi saat itu saya tolak mentah-mentah lantaran saya dulu belum terlalu suka baca terjemahan, sekalipun ini Agatha Christie lho. Entahlah, mungkin lagi malas mikir kali ya. Akhirnya, setelah masuk kerja, mulai ikut komunitas buku dan saya baru ngeh bahwa ternyata buku ini fenomenal syekali ulala cetarrr.

Menyesal? Ya, dulu sih, sempat. Tapi begitu mau baca, rupanya buku ini sudah termasuk buku langka karena merupakan salah satu karya masterpiece Agatha Christie. Saya jadi kesulitan mendapatkannya sampai-sampai saya pasrah. Eh, masih mau lanjut baca review saya atau mau baca curhatan saya dulu? -eaaa-

Curhat dulu deh dikit lagi. -maksa-

Terus beberapa waktu lalu saya juga baru nonton drama korea yang menyinggung-nyinggung buku ini. Jadilah saya kayak orang yang bentol dan gatalnya sudah hilang tapi lalu gak sengaja digaruk -nggg, kalau belum pernah ngerasain, gak usah dipaksa bayangin-.

Semakin makin makin dan makin timbullah rasa penasaran saya. Terus sekelebat lihat buku ini ada di pasar buku di Blok M Square. Tapi sayangnya saya lagi bokek. Argh… okelah, pikir saya, jodoh gak ke mana. Saya sudah sempat pasrah saat itu. Ndilalahnya, pas lagi jalan-jalan ke tret e-book di Kaskus, nemu buku ini dalam bahasa Indonesia. Wiii… jodoh betulan! >.<

REVIEW BETULAN INI. SUNGGUH.

Ada sepuluh orang yang diundang oleh seseorang yang disebut-sebut Mr atau Ms atau Mrs Owen, entahlah gimana bentuk kelaminnya, ke sebuah pulau yang bernama Pulau Negro. Pulau Negro ini terkenal, tapi ya jangan cari di peta juga sih. Makanya, begitu ada undangan untuk datang ke Pulau Negro ini, ke sepuluh orang tersebut langsung tertarik. Apalagi ada imbalan yang cukup besar. Banyak duitlah si Owen ini. Anehnya, gak ada satupun yang pernah bertemu Owen ini.

Pada saat makan malam, gramafon memutarkan rekaman aneh berisi daftar kejahatan masing-masing tamu, termasuk sepasang pembantu suami istri yang melayani para tamu undangan. Kejahatan-kejahatan itu berupa pembunuhan-pembunuhan yang tidak terjamah hukum negara dan dibiarkan menguap begitu saja. Nah, nampaknya si Owen ini bermaksud membuat penghakimannya sendiri. Sadis memang kedengarannya. Padahal Owen sendiri tidak punya kepentingan apa-apa terhadap orang-orang yang dibunuhnya ini. Psiko? Ember!

Setelah dibacakannya daftar kejahatan itu, yang pertama mati adalah istri pembantu yang juga seorang pembantu. Saat itu, Mrs. Roger namanya, shock mendengar suara yang diputar dari gramafon, akhirnya dia disuruh beristirahat oleh Dr. Armstrong, yang memang seorang dokter. Dr. Armstrong memberinya obat penenang, tak berapa lama Mrs Roger mati. Tertuduhlah Dr. Armstrong. Namun belum selesai tuduhan itu, rupanya kejadian kematian menimpa orang lain lagi. Yang lainnya jadi bingung, jika memang Dr. Armstrong yang membunuh, bagaimana mungkin dia bisa membunuh sedangkan sejak tadi mereka selalu bersama-sama?

Hm, intinya satu persatu dari mereka akhirnya mati. Polisi bahkan tidak bisa mengungkapkan kasus pembunuhan ini. Semua kuncinya ada di orang yang bernama Owen. Sialnya, rupanya Owen itu sendiri ada di antara mereka.

Kalau sering baca buku detektif atau misteri pastinya gak akan kaget dengan modus yang dilakukan si pembunuh bernama Owen ini. Saya sejak awal menduga Owen ada di antara mereka dan saya tahu saya pasti dikecohkan oleh urutan kematian. Uniknya, ada satu sajak yang menjadi kode pembunuhan mereka. Begini bunyinya:

Sepuluh anak Negro makan malam;
Seorang tersedak, tinggal sembilan.

Sembilan anak Negro bergadang jauh malam;
Seorang ketiduran, tinggal delapan.

Delapan anak Negro berkeliling Devon;
Seorang tak mau pulang, tinggal tujuh.

Tujuh anak Negro mengapak kayu;
Seorang terkapak, tinggal enam.

Enam anak Negro bermain sarang lebah;
Seorang tersengat, tinggal lima.

Lima anak Negro ke pengadilan;
Seorang ke kedutaan, tinggal empat.

Empat anak Negro pergi ke laut;
Seorang dimakan ikan herring merah, tinggal tiga.

Tiga anak Negro pergi ke kebun binatang;
Seorang diterkam beruang, tinggal dua.

Dua anak Negro duduk berjemur;
Seorang hangus, tinggal satu.

Seorang anak Negro yang sendirian;
Menggantung diri, habislah sudah.

Pikir saya, dari dua pembunuhan yang terjadi, mestinya para tawanan yang tersisa bersiap dong. Nah, di buku ini kurang diceritakan seperti itu. Hanya sekali saja saat salah seorang dari mereka mati disengat lebah beracun. Sebelum-sebelumnya tidak ada penjelasan. Saya jadi jengkel sendiri dengan tokoh-tokohnya. Namun setelah saya baca lagi syair anak negro tersebut, rupanya bisa jadi tidak ditulis Agatha karena kasusnya tidak sama persis. Tidak ada yang ke kebun binatang. Tidak ada yang berjemur, dsb. Sampai sini, oke. Breath-taking banget pokoknya.

Sepanjang baca, kita gak akan dikasih tahu secara keseluruhan mereka mati dengan cara apa dan bagaimana bisa. Terutama yang soal racun sianida itu. Atau sayanya saja yang missed ya? BUt, overall cukup bisa dinikmati walau ada bolong sedikit.

Meskipun gak ada pemecahan kasusnya, kita gak akan dibikin bingung kok dengan pembunuh sebenarnya. Kenapa? Ya baca saja pokoknya. Saya kasih 5 dari 5 bintang untuk buku ini.