It can be miracle, when you believe, begitu nyanyian seorang Mariah Carey. Ya, buku yang saya baca ini mengambil isu yang cukup serius, yaitu keyakinan. Keyakinan siapa? Tentu saja keyakinan sang penulis, yaitu Ayu Utami, dalam memandang sesuatu yang spiritual seperti Tuhan dan hantu. Dua hal yang saya sebutkan itu tak ada bedanya satu sama lain. Sama-sama tidak bisa dilihat, sama-sama tak “terjamah”, namun kita bisa merasakan kehadirannya (tentu saja ini hanya berlaku bagi mereka yang percaya!).
Simple Miracles terdiri dari tiga bab besar yaitu hantu, tuhan, tahun. Apa yang dirasakan penulis tentunya juga saya rasakan. Terutama tentang bagaimana sikap kita memandang sesuatu yang (katanya) hanya bisa dilihat oleh indra keenam. Persis! Saya sama halnya seperti penulis, awal-awal berada pada fase skeptis sampai waktu pada akhirnya mengajak saya untuk menelaahnya lebih dalam sebab waktu pula lah yang memberikan saya kejadian-kejadian yang sejujurnya tidak bisa dinalar dengan akal sehat. Tapi kemudian ketika kejadian “spiritual” tersebut terjadi pada kita (atau kita melihatnya dengan mata kepala kita sendiri), mau tak mau suka tak suka kita jadi mengimani apa yang kita alami itu. Tentu saja setelah sebelumnya saya berusaha menepis dengan segala logika-logika yang saya pahami. Pada akhirnya, logika itu patah, karena satu dan lain hal yang tidak bisa kita terima dengan nalar. Itulah yang saya asumsikan sebagai keajaiban.
Kadang sesuatu hadir begitu sederhana, sehingga kita enggan mengakuinya.
Banyak pemikiran-pemikiran bagus yang Ayu Utami tulis dalam buku ini (well, sebenarnya agak rancu menyebutnya “pemikiran bagus” atau hanya karena saya sepemikiran dengannya). Pemikiran-pemikiran ini tidak menggurui. Ayu Utami sekadar berbagi cerita hidupnya yang menurut saya menarik sekali untuk diketahui, tanpa ada kalimat merendahkan siapapun. Kentara sekali dalam buku ini, meskipun Ayu Utami terlihat cuek, namun sebenarnya ialah sosok perempuan yang perasa dan sayang keluarga. Bedanya, mungkin, Ayu menjalani hidup tanpa menye-menye. Jika diibaratkan dengan berjalan, Ayu menjalani hidup dengan derap kaki seorang prajurit; tegap, kokoh, langkah pasti. Tidak seperti seorang perempuan yang jalannya ngesot (eh, ini mah suster yak).
Kita sering bertanya kenapa sih si itu mati begitu cepat, atau kenapa si ini tidak mati-mati padahal sakitnya sudah menahun, misalnya. Buku ini memberikan jawaban yang sebenarnya sudah saya yakini sejak lama; seseorang belum dipanggil Tuhan kalau tugasnya di bumi belum selesai. Yah, bukankah kita semua ini adalah khalifah di bumi yang mengemban tugas masing-masing? Kenapa juga orang baik biasanya dipanggil begitu cepat? Sebab Tuhan menyayanginya lebih dari kita menyayangi mereka. Bukankah Tuhan Maha Tahu?
Imanmu menyelamatkanmu. Tapi iman juga bisa mencelakakanmu. – hal. 97
Maafkan kalau review saya terkesan agak bias karena memang saya salah seorang penyuka tulisan dan pemikiran Ayu Utami. Tapi saya yakin apa yang ditulis Ayu Utami dalam buku ini bisa memberikan pembaca pandangan baru terhadap sesuatu yang “halus-halus”. Agaknya menarik jika punya sahabat seperti Ayu Utami, yang meskipun terlihat sibuk dengan ceritanya sendiri tapi pendengarnya bakalan betah meladeninya sebab diceritakan dengan bahasa dan tutur kata yang ekspresif sekaligus halus. Saya suka sekali dengan sikap penulis sewaktu bertemu dengan “paranormal-paranormal”. Cara nyinyir khas Ayu Utami bikin saya ngakak sekaligus menggumam “gue banget nih!”. Maksudnya, kalau saya jadi Ayu Utami, mungkin saya juga akan bereaksi demikian. Terasa orisinil!
Di satu sisi, tulisan Ayu yang diawali dengan kalimat “Hal yang paling menakutkan adalah Ibu mati.” langsung membuat saya merinding. Sebab ibu saya juga sedang sakit dan sekarang sedang menjalani terapi hemodialisis. Mau tidak mau, setiap kali Penulis menceritakan tentang ibunya, saya jadi ikut terbawa haru.
Tuhan, perkenankanlah aku menemani ibuku saat ia menyambut ajal… – hal. 123
Di belakang buku, Penulis menyisipkan cerita yang menarik perihal latar belakang penulisan buku ini. Bahwa ia sebenarnya menulis untuk memperingati 40 hari meninggalnya sang ibu, namun kemudian tidak bisa selesai tepat waktu. Lalu sang bibi (disebut Bibi Gemuk) wafat dalam penulisan sehingga akhirnya buku ini dipersembahkan untuk kedua wanita itu. So sweet… Kelak kita tahu siapa Nata dan Ghavi yang tertulis di halaman awal buku.
Kendati buku ini beraliran nonfiksi, tentunya ada beberapa penyesuaian di sana sini sehingga nikmat dibaca. Hal ini disampaikan Penulis di akhir halaman juga.
Nampaknya buku ini akan dibuat menjadi serial. Wah, untuk yang satu ini saya tidak ingin berharap terlalu banyak sebab Ayu Utami nampaknya punya beberapa tulisan yang belum naik cetak sejak setahun lalu (Seri Zodiak, misalnya).
Sedikit tip dari saya, bacalah buku ini dengan pikiran terbuka dan biarkan setiap kalimatnya dicerna otak sehingga tidak tertelan mentah-mentah. Bagaimanapun, hal-hal yang spiritual tetap harus dikritisi.
Spiritualisme Kritis adalah sikap terbuka (penghargaan) pada yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis. – Ayu Utami
PS: buku ini salah satu buku hadiah dari Santa. Terima kasih, ya. *smooch*