Misteri Patung Garam karya Ruwi Meita. Penerbit Gagas Media. Tebal 284 Halaman. Terbit: Februari 2015. Genre: Psycho-thriller. Rating: 3 of 5.
Seorang pianis ditemukan mati dengan bibir terjahit, bola matanya dicongkel, dan organ-organ tubuhnya dikeluarkan secara paksa. Mayat tersebut didandani seakan-akan sedang bermain piano dan sekujur badannya dilumuri adonan garam.
Kiri Lamiri diminta menyelesaikan kasus tersebut, setelah keberhasilannya mengusut kasus pembunuhan segitiga biru. Tak mudah bagi Kiri karena pembunuh melakukan aksinya dengan sangat rapi. Selain itu dia juga sedang punya masalah sendiri yaitu dituntut nikah sama pacarnya. Ha! Kasian..
Selagi mencari info-info, pembunuh tersebut rupanya sudah berhasil mendapatkan korban lagi. Korban-korban terus berjatuhan dan pelaku tahu Kiri mengejarnya. Sebagai gantinya, pelaku mengincar seorang fotografer yang sebentar lagi akan menggelar pameran tunggalnya. Fotografer itu pacar Kiri.
***
Bagus, tapi kurang greget.
Ide ceritanya saya suka sebab seingat saya belum ada penulis yang mengangkat tema garam sebagai motif pembunuhan (kalaupun ada, saya belum baca). Terinpirasi dari kisah Idis, istri Lot (atau Luth) yang berubah jadi patung garam karena mengabaikan perintah Tuhan. Selain itu juga kentara sekali riset yang dilakukan penulis benar-benar mendalam. Saya bahkan baru tahu kalau kata “salary” berasal dari kata “salt” sebab pada jaman dulu orang digaji menggunakan garam. Saya suka!
Hanya saja saya agak terganggu dengan penggunaan kalimat baku dalam dialog. Saya rasa ini masalah utama saya saat membaca sebuah buku. Seperti mengunyah nasi yang ada kerikilnya. Tak ada yang salah dengan penggunaan kalimat baku, memang, namun jika digunakan untuk sebuah dialog yang diucapkan oleh seorang anak stasiun yang hidup sebagai pencopet, rasanya agak mengganjal.
Lalu, saya juga kurang suka dengan pacar si tokoh utama. Kok kayaknya manja sekali hingga saya pengin mites dia saking gemasnya. Juga apa maksudnya ungkapan “kampret rebus” yang bisa dibilang ciri khas Inspektur Saut? Bikin saya kehabisan kata-kata buat komentar. Oh ya di bagian Kenes dan Ireng, jujur, saya agak skimming karena “cerita sampingan” ini gak terlalu menarik perhatian saya.
Pembunuhnya cukup mudah ditebak. Awalnya saya sempat bertanya-tanya mungkinkah ini pembunuhnya? Kalau ya, kok seakan-akan saat diinterogasi polisi, dia malah mengeluarkan penyataan yang menciptakan kecurigaan bagi dirinya? Ah, bukan.. bukan.. Pasti bukan ini pembunuhnya. Lalu, saya baca lagi dan lagi berharap bertemu tokoh baru yang bisa saya curigai. Ternyata tak ada. Ya sudah, fix lah tebakan saya. Meskipun begitu, penulis tetap menyuguhkan twist di akhir cerita (untuk yang satu ini, tak mudah ditebak).
Untuk ukuran thriller dengan kisah pencongkelan bola mata dan mumifikasi, novel ini termasuk kurang dark. Tulisannya sebatas deskripsi kondisi setelah ditemukan mati dan belum bisa bikin saya bergidik ngeri. Saya berharap bertemu bab yang menceritakan proses pembunuhan dari segi pandang pelaku alias pria lavendel. Misalnya, adegan saat ia menyayat-nyayat tubuh korbannya, kenikmatan sekaligus kesedihan yang dirasakan, dan sebagainya.
Pokoknya novel ini kurang tebal. Cerita flashback kehidupan pria lavendel di masa kecil yang berdampak pada dirinya sekarang mestinya diceritakan juga. Pasti bikin tambah menarik. Sebab agak aneh kan, di ending tahu-tahu Inspektur Kiri bisa menebak pelakunya tapi pembaca gak dibimbing berpikiran begitu. Ya, oke, ada scene saat Kiri ke RS Jiwa dan ke kampung pengasuh kecilnya, tapi tetap saja itu kurang mendukung menurut saya.
Overall, buku ini layak dibaca. Dengan riset dan eksekusi yang lebih mantap lagi, saya rasa penulis bisa menghasilkan karya baru di masa mendatang yang jauh lebih ciamik dari ini.