Istriku Seribu: Karena Poligami Dua Istri Terlalu Mainstream

image

Saya tertarik membeli buku ini karena memang niat mau mencari buku-bukunya Cak Nun. Seorang teman semangat sekali merekomendasikan agar saya baca buku-buku beliau.  Kebetulan buku ini tipis dan seukuran dengan kamus poket. Sebagai permulaan sekaligus berkenalan dengan tulisan Cak Nun, oke, aku comot.

Eh tapi selain itu, tulisan di sampul belakangnya juga bikin hati saya dag dig dug.

image

Jadi makin penasaran pengin baca, kan?

Ternyata isinya bagus lho. Saya sih suka. Kalimat-kalimatnya bernada satir yang lumayan nonjok. Cerdas dan berisi. Pembaca senantiasa diingatkan bahwa hidup ini hanya sementara dan kepada Tuhanlah kita akan kembali. Maka, tak usahlah terlalu ngoyo mengurusi hal-hal duniawi tok-tok, yang itu-itu saja.

Jangan salah sangka. Buku ini bukanlah buku tentang poligami, walaupun akan ada bahasannya juga sih. Namun, istri seribu yang dimaksud dalam buku ini adalah perumpamaan yang digunakan Cak Nun untuk menyebut hal-hal duniawi yang membuat kita konsumtif. Kita seperti seorang suami yang harus memenuhi kebutuhan para istri. Istri-istri kita itu antara lain mobil, rumah, barang-barang mewah, furniture mahal, dan sebagainya. Kita terlalu sibuk membahagiakan istri-istri kita sampai kita lupa dengan Sang Khalik.

Sebuah bacaan yang nampol dan cucok buat pembaca siraman rohani. *halah* wkwkwk

Dark Places: Kau Tak Bisa Lihat Apa yang Seharusnya Kaulihat

26048647Sudah 6 bulan nggak nulis review! Oh my, God. Malas benar saya. Bukannya saya nggak baca buku atau apa. Memang sih selain banyak baca komik, tahun lalu itu saya punya kesibukan lain yang bikin saya malas baca dan malas review. My bad. Sampai akhirnya ada e-mail dari Divisi Keanggotaan BBI yang mengingatkan bahwa blog saya harus segera di-update. Wow, thanks BBI!

Oke, so, sekarang saya pengin menulis review dengan gaya review baru. Tak ingin menuliskan dengan gamblang tentang identitas buku, tetapi akan menyelipkannya di sepanjang review, sehingga saya harap review saya betulan dibaca dari awal sampai habis! Hahaha!

Buku Dark Places karya Gillian Flynn ini adalah buku pertama yang saya selesaikan di tahun 2016. Bacanya sih sudah sejak 2015, tapi ya karena kesibukan lain itu yang bikin nggak kelar-kelar bacanya. Habis buku ini tebal banget sih, sekitar 472 halaman. Mana hurufnya kecil-kecil pula. Wkwk.

Tokoh utamanya bernama Libby Day dan yah khas Gillian banget, menggunakan multipoint of view. Kita bisa baca beberapa sudut pandang selain dari Libby, ada Ben Day kakak Libby, dan Patty Day mama Libby. Alurnya juga maju mundur, masih nggak berubah dengan gaya menulis Gone Girl kan? Hal ini salah satu yang bikin saya nggak segitunya buat kasih banyak bintang.

Ok, jadi Libby ini adalah satu-satunya survivor saat keluarganya dibantai ketika berumur 7 tahun. Bisa bayangin kan, anak kecil usia segitu selamat dari pembantaian sekeluarga yang ternyata pelakunya adalah kakaknya sendiri, Ben Day. What?

Yap, masuk akal sih soalnya si Ben ini diceritakan adalah seorang penganut sekte sesat pemuja setan. Nah, pembantaian ini diduga merupakan aksi Ben sebagai bentuk kurban untuk setan itu.

Banyak yang prihatin dengan peristiwa ini sehingga sampai berumur 32 tahun Libby hidup “cukup” atas donasi orang-orang. Sampai akhirnya uang donasi itu ternyata sudah mau habis dan bikin Libby kelimpungan mau cari duit ke mana untuk membiayain hidupnya. Lalu suatu hari seorang anggota Klub Bunuh menawarkan kerjasama pada Libby untuk membongkar kasus pembantaian keluarganya dengan iming-iming uang, sebab Klub Bunuh ini yakin Ben Day bukan pembunuh sebenarnya. Wah, tempting banget. Di satu sisi Libby pengin menyelamatkan kakaknya (seklaigus dapat uangnya dong, pastinya) tapi di sisi lain dia agak malas berurusan dengan masa lalunya. Lha kalau ternyata Ben bukan pembunuh, berarti kesaksian dia waktu berumut 7 tahun itu palsu dong? Terus gimana? Libby jadi bingung.

Singkatnya, Libby dibantu temannya untuk mengungkap misteri siapa pelaku sebenarnya pembantaian itu. Dan kutu kupret banget endingnya! Penasaran kenapa saya bilang kutu kupret? Nah, baca deh.

Adegan-adegan dalam buku ini bisa dibilang sadis sih. Saya aja sampai mengernyit menandakan ngeri bacanya sehingga beberapa deskripsi sadis saya skip baca. Hahaha. Tapi percaya deh, kalau ada filmnya, bukan jenis film yang bakal saya tonton. Cukup dibaca aja. Hehehe…

Tapi untuk keseluruhan saya hanya kasih 3 bintang. Kenapa? Ceritanya kepanjangan, menjebak banget deh. Kesel saya jadinya hahaha. Gaya menulisnya juga masih sama dengan Gone Girl, bosan aja rasanya. Tapi untuk ide cerita dan endingnya: kutu kupret!!!

Misteri Patung Garam: Menilik Kembali Kisah Idis

Misteri Patung Garam karya Ruwi Meita. Penerbit Gagas Media. Tebal 284 Halaman. Terbit: Februari 2015. Genre: Psycho-thriller. Rating: 3 of 5.

Seorang pianis ditemukan mati dengan bibir terjahit, bola matanya dicongkel, dan organ-organ tubuhnya dikeluarkan secara paksa. Mayat tersebut didandani seakan-akan sedang bermain piano dan sekujur badannya dilumuri adonan garam.

Kiri Lamiri diminta menyelesaikan kasus tersebut, setelah keberhasilannya mengusut kasus pembunuhan segitiga biru. Tak mudah bagi Kiri karena pembunuh melakukan aksinya dengan sangat rapi. Selain itu dia juga sedang punya masalah sendiri yaitu dituntut nikah sama pacarnya. Ha! Kasian..

Selagi mencari info-info, pembunuh tersebut rupanya sudah berhasil mendapatkan korban lagi. Korban-korban terus berjatuhan dan pelaku tahu Kiri mengejarnya. Sebagai gantinya, pelaku mengincar seorang fotografer yang sebentar lagi akan menggelar pameran tunggalnya. Fotografer itu pacar Kiri.

***
Bagus, tapi kurang greget.

Ide ceritanya saya suka sebab seingat saya belum ada penulis yang mengangkat tema garam sebagai motif pembunuhan (kalaupun ada, saya belum baca). Terinpirasi dari kisah Idis, istri Lot (atau Luth) yang berubah jadi patung garam karena mengabaikan perintah Tuhan. Selain itu juga kentara sekali riset yang dilakukan penulis benar-benar mendalam. Saya bahkan baru tahu kalau kata “salary” berasal dari kata “salt” sebab pada jaman dulu orang digaji menggunakan garam. Saya suka!

Hanya saja saya agak terganggu dengan penggunaan kalimat baku dalam dialog. Saya rasa ini masalah utama saya saat membaca sebuah buku. Seperti mengunyah nasi yang ada kerikilnya. Tak ada yang salah dengan penggunaan kalimat baku, memang, namun jika digunakan untuk sebuah dialog yang diucapkan oleh seorang anak stasiun yang hidup sebagai pencopet, rasanya agak mengganjal.

Lalu, saya juga kurang suka dengan pacar si tokoh utama. Kok kayaknya manja sekali hingga saya pengin mites dia saking gemasnya. Juga apa maksudnya ungkapan “kampret rebus” yang bisa dibilang ciri khas Inspektur Saut? Bikin saya kehabisan kata-kata buat komentar. Oh ya di bagian Kenes dan Ireng, jujur, saya agak skimming karena “cerita sampingan” ini gak terlalu menarik perhatian saya.
Pembunuhnya cukup mudah ditebak. Awalnya saya sempat bertanya-tanya mungkinkah ini pembunuhnya? Kalau ya, kok seakan-akan saat diinterogasi polisi, dia malah mengeluarkan penyataan yang menciptakan kecurigaan bagi dirinya? Ah, bukan.. bukan.. Pasti bukan ini pembunuhnya. Lalu, saya baca lagi dan lagi berharap bertemu tokoh baru yang bisa saya curigai. Ternyata tak ada. Ya sudah, fix lah tebakan saya. Meskipun begitu, penulis tetap menyuguhkan twist di akhir cerita (untuk yang satu ini, tak mudah ditebak).

Untuk ukuran thriller dengan kisah pencongkelan bola mata dan mumifikasi, novel ini termasuk kurang dark. Tulisannya sebatas deskripsi kondisi setelah ditemukan mati dan belum bisa bikin saya bergidik ngeri. Saya berharap bertemu bab yang menceritakan proses pembunuhan dari segi pandang pelaku alias pria lavendel. Misalnya, adegan saat ia menyayat-nyayat tubuh korbannya, kenikmatan sekaligus kesedihan yang dirasakan, dan sebagainya.

Pokoknya novel ini kurang tebal. Cerita flashback kehidupan pria lavendel di masa kecil yang berdampak pada dirinya sekarang mestinya diceritakan juga. Pasti bikin tambah menarik. Sebab agak aneh kan, di ending tahu-tahu Inspektur Kiri bisa menebak pelakunya tapi pembaca gak dibimbing berpikiran begitu. Ya, oke, ada scene saat Kiri ke RS Jiwa dan ke kampung pengasuh kecilnya, tapi tetap saja itu kurang mendukung menurut saya.

Overall, buku ini layak dibaca. Dengan riset dan eksekusi yang lebih mantap lagi, saya rasa penulis bisa menghasilkan karya baru di masa mendatang yang jauh lebih ciamik dari ini.