[Review] I’ve Got Your Number by Sophie Kinsella

I've Got Your Number by Sophie Kinsella Published 2011 by The Dial Press 449 pages Genre: Chicklit Rating: 4 of 5

I’ve Got Your Number by Sophie Kinsella
Published 2011 by The Dial Press
449 pages
Genre: Chicklit
Rating: 4 of 5

Banyak yang bilang karya Sophie Kinsella yang satu ini tidak begitu berbeda jauh dengan buku-buku karya Sophie lainnya. Saya membenarkan itu. Namun entah kenapa selalu ada excitement tersendiri setiap kali saya membaca buku-buku Sophie sehingga saya tidak merasa bosan.

I’ve Got Your Number menampilkan cerita masyarakat urban dengan tokoh utama perempuan berkarakter tipikal genre chicklit. Mengingatkan saya pada tokoh perempuan dalam film Legally Blonde atau Confession of Shopaholic.

Perempuan itu bernama Poppy Wyatt yang (too good to be true) bertunangan dengan Magnus Thavis, semacam seorang selebriti cendekiawan gitu deh. Awal membaca saya dibikin penasaran dengan kasus hilangnya cincin tunangan Poppy yang mana cincin itu adalah cincin keluarga Thavis. Dalam proses pencarian cincin, ndilalah Poppy kehilangan HPnya. Ndilalah lagi, dia nemu HP di tong sampah. Lalu, ndilalah lagi yang punya HP ini ternyata seorang Pesonal Assistant (PA) yang punya bos laki super duper dingin bernama Sam Roxton. Ndilalah-ception ya -,-

Eniwei, setelah memohon-mohon sama si bos yang empunya HP ini, jadilah si Poppy ini menggantikan posisi si PA sementara waktu sampai cincinnya ketemu. Menjadi pengganti PA ini rupanya sedikit banyak membuat Poppy mengenal Sam Roxton melalui e-mail-email pribadinya.

Saya sih jadi deg-degan sendiri bacanya. Masalahnya, Poppy ini hampir mirip kayak saya. Ceroboh dan pelupa orangnya. Kehilangan cincin menjelang sehari sebelum ketemu mertua? Ya ampun semoga gak terjadi sama saya kelak. Hahaha. Poppy sudah menyiapkan seribu satu alasan untuk berjaga-jaga kalau-kalau si camer menanyakan cincinnya. Untungnya, si camer datangnya tertunda karena harus ke Manchester. Terus pas si camer betulan dateng, Poppy membalut jarinya dengan plester, berdalih bahwa tangannya luka. Poppy pikir ini ide yang cemerlang tapi ternyata camernya ini malah berencana manggil tetangga mereka yang dokter buat nyembuhin lukanya. “Aduh mati deh gue.” Mungkin itu yang dibatinkan Poppy. Hahaha. Untungnya, tetangganya itu ternyata lagi pergi. Poppy selamat!!!

FYI, keluarga Thavis ini keluarga sejenis profesor gitu deh yang nerd dan hobi banget belajar macam ilmuwan. Sedangkan Poppy merasa dirinya terlalu biasa untuk bisa bergabung jadi bagian The Thavises. Dengan bantuan Sam, Poppy mencoba membangun kepercayaan dirinya.

Tapi cerita Poppy gak berhenti sampai di situ aja. Dibantu Sam, ia akhirnya bikin cincin imitasi yang nyaris mirip dengan aslinya sementara cincinnya belum ketemu. Well, sebenarnya konflik utamanya bukan pencarian cincin kok. Banyak hal-hal lain menambah cerita ini jadi seru dan agak ngetwist di akhir cerita. Pokoknya saya sama sekali gak merasa bosan dengan buku ini. Menghibur dari awal sampai akhir.

Poppy ini ceria banget orangnya dan dia suka banget menambahkan emot xxx atau smiley di akhir emailnya. Beda 180 derajat dengan Sam yang dingin dan tipikal orang yang balas email cuma “Ok.” atau “Nevermind.” Bikin Poppy gatel. Apa sih susahnya menambahkan emot atau smiley?

Poppy juga banyak bantu pekerjaan Sam. Bagaimanapun secara gak langsung Poppy telah menjadi PA Sam dan she’s not bad at all. Walau kadang Poppy pernah secara sembrono balas email teman perempuan Sam dengan emot xxx yang bikin si cewek jadi ngira Sam ada rasa sama dia. Hahaha!

Pokoknya kocak deh buku ini. Layak jadi bacaan weekend. Saya kurang update apakah buku ini sudah ada edisi terjemahannya atau belum. tapi membaca english pun tak terlalu berat karena bahasanya mudah dipahami.

Extraordinary Life of Samsa

The Metamorphosis by Franz Kafka

The Metamorphosis by Franz Kafka

Bohong kalau saya bilang buku ini gak aneh. Bohong juga kalau saya bilang saya menikmati membaca buku ini. Well, saya gak begitu paham esensi sastra yang disuguhkan. Tetapi, saya bisa menangkap pesan moral yang coba disampaikan Kafka dalam buku ini.

Bangun tidur dan mendapati tubuhnya berubah menjadi seekor kutu raksasa (sebagian bilang kecoak) tentu jadi pukulan yang berat buat Gregor Samsa. Bagaimana ia bisa bekerja? Bagaimana keluarga dan teman-temannya bisa menerima perubahannya? Semua itu berkecamuk di pikiran Gregor pada suatu pagi.

Gregor tinggal bersama kedua orangtua dan adiknya, Grete. Gregor bekerja sebagai salesman dan ia adalah tulang punggung keluarga. Meskipun begitu, Gregor tidak mendapat perhatian khusus layaknya perlakuan seorang tulang punggung. Sebaliknya, ia sering tidak dipedulikan oleh kedua orangtuanya, terutama ayahnya. Grete, adiknya, untung saja tidak begitu. Ia selalu baik pada Gregor bahkan ketika ia tahu Gregor berubah menjadi kutu.

My dear parents, things can not go on any longer in this way. Maybe, if you don’t understand that, well, I do. I will not utter my brother’s name in front of this monster, and thus I say only that we must try to get rid of it. We have tried what is humanly possible to take care of it and to be patient. I believe that no one can criticize us in the slightest. (p. 47)

Sekian lama hidup sebagai serangga, memberi efek psikologis tersendiri yang mendalam bagi Gregor. Betapa orangtuanya tidak bisa ikhlas menerima keadaannya dan malah nyaris membunuhnya adalah salah satu alasan yang membuat Gregor depresi, meskipun Grete satu-satunya orang yang penuh perhatian pada kakaknya.

Hidup Gregor berakhir tragis dan ketika itu pula keluarganya tidak nampak berduka. Ya, berduka, tetapi hanya seperlunya. Can you imagine if someday you have a life like Gregor’s life? What would you do?

Saya membaca edisi bahasa inggris dan saya akui saya agak kesusahan memahami kalimat-kalimatnya. Mungkin karena ditulis dengan gaya sastra lama, maklum saja akhir tahun 1800-an. Atau juga bisa jadi karena memang ilmu saya gak nyampe buat menikmati buku ini. Buku ini juga tipis kok. Saya selesai membacanya dalam waktu kurang dari satu jam.

Saya sih bacanya merasa kurang greget. Kurang dramatis. Sudah gitu, gak dijelaskan pula kenapa Gregor suddenly berubah jadi serangga. Banyak kejanggalan-kejanggalan yang sekarang menari-nari di pikiran saja meminta jawaban. Tapi agaknya percuma kalau saya tuliskan di sini. Harus cari teman diskusi untuk meluruskan.

Dongeng, Warisan, dan Hal-hal yang Seksuil

Judul: Aksara Amananunna Penulis: Rio Johan Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia Tahun Terbit: 2014 Tebal: 240 Halaman Genre: Kumpulan Cerpen Rating: 3.5 dari 5

Judul: Aksara Amananunna
Penulis: Rio Johan
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2014
Tebal: 240 Halaman
Genre: Kumpulan Cerpen
Rating: 3.5 dari 5

Agaknya penulis muda Indonesia yang menghasilkan tulisan (yang suka saya sebut dengan) sastra mulai banyak bermunculan belakangan ini. Sedikit melegakan hati ternyata penulis muda tidak melulu terjebak dalam koridor novel teenlit yang cenderung galau dan menye-menye. Hanya saja memang saya lebih sering menjumpai penulis pemuda ketimbang pemudi.

Lepas dari persoalan gender tersebut, saya bertanya-tanya dalam hati. Kiranya apa yang membuat buku ini bisa masuk ke dalam list 10 besar KLA 2014, disandingkan dengan karya penulis-penulis senior semisal Remy Silado, Ayu Utami, dan Eka Kurniawan. Benar saja, rupanya buku ini memang punya sesuatu. Kendatipun nama Rio Johan terasa asing bagi saya.

Terdiri dari 12 cerita pendek yang dibuka dengan Undang-undang Antibunuhdiri, sukses mengikat saya untuk terus membaca halaman demi halaman berikutnya padahal sebelumnya saya sempat su’udzon buku ini punya kemungkinan besar akan membosankan. Dalam cerpen pertama ini terlihat bagaimana pemerintah kerepotan menghadapi suatu permasalahan sehingga undang-undang dibuat namun pada akhirnya undang-undang itu sejatinya tidak mengatur apa-apa.

Kemudian seperti banyak penulis sastra lainnya yang gemar mengangkat tema seks, Rio pun melakukannya juga pada beberapa cerpennya dalam buku ini. Antara lain potret BDSM dalam Komunitas, gulat syahwat dalam Robbie Jobbie, dan jalan hidup Ben yang jadi budak seks oleh Tuan Cuddon dalam Riwayat Benjamin. Isu gender nampaknya juga ingin diangkat oleh Rio. Tengok saja cerpen Ginekopolis, sebuah kota yang dipimpin oleh Nona Agung dan para wanita lainnya, juga cerita tentang Kevalier D’Orange yang mempertahankan harga dirinya mati-matian, dan benar saja, sampai dia mati.

Dalam Aksara Amananunna yang menjadi judul kumcer ini, ada tema yang sama dengan cerpen Pisang Tidak Tumbuh di Atas Salju dan “Apa Iya Hitler Kongkalingkong dengan Alien?”, yaitu warisan. Yang pertama mewariskan bahasa, yang kedua mewariskan ilmu, sedangkan yang ketiga mewariskan cerita. Saya sendiri masih penasaran kenapa Aksara Amananunna dijadikan judul utama kumcer ini padahal menurut saya ceritanya tidak sedemikian wow. Memang sih mengingatkan saya pada kisah Ada, dan Hawa sebagai awal mula peradaban manusia di muka bumi yang akhirnya terkhianati oleh buah hatinya sendiri.

Sedangkan pada cerpen Ketika Mubi Bermimpi Menjadi Tuhan yang Melayang di Angkasa tak lebih seperti cerita dongeng anak-anak yang memiliki twist-end. Seolah ingin memberi pelajaran pada mereka yang gemar berandai-andai jadi tuhan. Cerpen Tidak Ada Air untuk Mikhail sebenarnya cerita yang paling mudah dinikmati karena dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Di cerpen ini saya baru tahu ada kata “buli” yang seolah resmi menjadi kata serapan bully. Jujur saja saya belum mengecek KBBI terbaru untuk membuktikannya. Di satu sisi, cerpen ini seperti paradoks “bagaimana mungkin Mikhail tidak kebagian air padahal ia adalah malaikat penurun rejeki berupa hujan?”.

Kumcer ini ditutup dengan Susanna! Susanna! yang merupakan cerita paling panjang dalam buku ini. Wajar mengingat nampaknya banyak hal yang ingin dituangkan penulis melalui cerpen ini.

Saya suka sampul buku ini sebab terlihat elegan dengan warna biru yang tidak pasaran dan sebatang pohon yang daunnya sempurna meranggas memberikan kesan etnik. Burung-burung kecil berwarna oranye yang mengitarinya juga terasa pas dipandang meski saya masih gagal merumuskan apa filosofinya.

Catatan penting bagi penerbit; buku ini terlalu banyak typo sampai tingkat yang tak termaafkan. Siapa pun yang membaca buku ini pasti merasa gerah dengan typo di dalamnya dan gatal ingin mencoretnya (atau saya saja?). Saya tidak paham apakah juri KLA hanya fokus ke cerita (isi) sehingga melupakan kenyamanan pembaca atau bagaimana. Walau memang, terlepas dari typo itu, ceritanya nikmat dan menarik.

Gaya penulisan Rio Johan juga asyik. Tidak terasa kaku sama sekali meski kebanyakan menggunakan bahasa yang baik dan baku. Saya sangat yakin buku ini ditulis dengan riset yang serius dan mendalam. Wajarlah kalau buku mampu mejeng di list 10 besar KLA 2014. Harapan saya, penulis segera menetaskan sebuah novel.